MAMA YOSEPHA ALOMANG, SRIKANDI DARI PAPUA                                           

Buku Mama Yosepha Alomang yang diterbitkan Elsham Papua(Jubi/sit)
  Buku Mama Yosepha Alomang 
Jayapura, 26/4 (Jubi)-Pendidikannya tidak setinggi kaum perempuan penerima penghargaan dari Pemerintah Provinsi Papua. Tetapi jangan ditanya soal komitmen dan keberaniannya membela hak-hak kaum tertindas. Bahkan perempuan paroh baya ini, berani berteriak “Papua Merdeka” ketika kaum lelaki Papua sudah tak lagi berani bicara soal kebebasan.

Itulah perempuan asal Gunung Nemangkawi, Bumi Amungsa Kabupaten Mimika, Papua. Panggil dia Mama Yosepha Alomang. Perempuan ini pernah dikurung dalam kontainer pengap gara-gara punya hubungan saudara, dengan mantan pejuang Papua Merdeka yang dibunuh Kelly Kwalik.

“Dia perempuan sederhana dan tak pernah mengecap pendidikan tinggi apalagi kuliah,”kata Aloysius Renwarin mantan Direktur Elsham Papua. Untuk perempuan sederhana ini, Elsham Papua pernah menerbitkan sebuah buku berjudul, Yosepha Alomang, Pergulatan Seorang Perempuan Papua Melawan Penindasan. Dia berani melawan penindasan tatkala kaum lelaki Amungme tak banyak yang bersuara.

Ungkapan hatinya soal lingkungan hidup di Tambang Terbuka Freeport antara lain, “Gunung Nemangkawi itu saya(Nemangkawi sebutan bahasa Amungme pada Puncak Cartenszh ). Danau Wanagong itu saya punya kaki. Tanah di tengah itu tubuh saya. Ko (kau) sudah makan saya. Mana bagian saya yang ko belum makan dan hancurkan? Ko sebagai pemerintah harus lihat dan sadar bahwa ko sedang makan saya. Coba ko hargai tanah dan tubuh saya.”

Nemangkawi atau Puncak Cartensz dalam budaya orang Amungme adalah seorang ibu atau mama yang memelihara dan memberikan kehidupan, melalui aliran sungai yang jernih dan tempat tinggal semua makhluk hidup.

Tak heran kalau mama Yosepha menyamakan dirinya dengan gunung yang sedang digali dan kini dilubangi menjadi sebuah terowongan alias under ground mining. Bagi orang Amungme puncak gunung adalah kepala sang mama. Filosofi orang Amungme menyatakan”Te Aro Neweak Lamo.” Artinya Alam adalah diriku, aku adalah tanah.

Perempuan paroh baya ini , sekilas tampak lemah. Tapi jangan ditanya soal keberanian dan ketegasannya. Perempuan berpostur mungil ini menyimpan keperkasaaan berasal dari suku Amungme, Lembah Tsinga. Tak salah kalau menyebut Mama Yosepha Alomang ini Srikandi dari Papua. Atau bisa juga disebut Srikandi dari Nemangkawi yang artinya Srikandi dari Gunung Anak Panah Putih alias bersalju.

Memang Srikandi seringkali erat kaitannya dengan kaum perempuan yang mengangkat bedil dan memanggul senjata. Mereka berjuang melawan penindasan kaum penjajah, berjuang demi keadilan, harga diri dan kebenaran. Bahkan Srikandi terkadang identik pula dengan mereka yang gugur di tengah pertempuran. Namun yang jelas Srikandi bukan saja terbatas karena keberanian secara fisik semata, lebih dari itu dan selalu memperjuangkan rasa kemanusiaan.

Thomas Carlyle dalam bukunya On Heroes Worship mengatakan Srikandi atau pahlawan perempuan bukan sekadar manusia yang hidup mati secara terhormat. Yang terpenting tipe manusia yang harus berani dan hidup secara jujur. Singkatnya manusia yang tetap konsisten pada misi dan nurani kemanusiaannya. Dia tidak pernah goyah dalam situasi terjepit dan tidak terlalu runtuh akibat banyak pujian.
Bunda Theresia misalnya, menjadi Srikandi bagi orang-orang miskin yang terbuang bagi kasta terendah di India, perjuangan ini dijalani karena seluruh hidupnya diabdikan bagi pelayanan kemanusiaan.

Atau Emmy Hafild mantan Direktur Walhi yang pernah dinobatkan majalah Time sebagai pejuang lingkungan hidup atau Heroes for the Planet. Hafild melakukan perlindungan terhadap lingkungan hidup karena hanya sumber daya alam yang dipunyai Indonesia sekarang, harus diselamatkan. Menjadi pahlawan atau Srikandi saja tidak cukup tetapi harus memanusiakan dirinya terlebih dahulu(to be a hero is not sufficient, so a hero must be first human)

Muhammad Iqbal dalam tulisannya berjudul Pahlawan Perempuan Kelas Bawah menonjolkan dua pahlawan perempuan saat rezim Soeharto masih berkuasa sekitar 1993, yaitu Marsinah buruh perempuan yang tewas dalam usia muda secara menggenaskan dan Sarikem janda setengah baya yang berjuang mempertahankan gubuknya dari penggusuran.

Indikator menjadi seorang Srikandi menurut Suryakusumah bahwa sedikitnya ada empat fakta untuk mengukur konsisten dan kepekatan perjuangan. Yaitu (1) Visi, ialah gambaran utopia tentang apa yang menjadi dunia ideal.(2) Ideologi masih tingkat idea, tetapi realitas merupakan penjabaran konseptual serta sistem kepercayaan visi yang dimiliki.(3) Adalah aksi, sudah beranjak di tingkat realitas, tindakan yang bisa berupa pelaku, program atau jalan hidup dan (4) Refleksi kembali ke tingkat ide, untuk melihat kecocokan antara ke empat faktor tersebut.
Marsinah tewas karena dianggap telah merugikan perusahaan karena itu, ia diculik dan disiksa oleh lima orang algojo di perusahaan tempat ia bekerja. Sedangkan Bu Sarikem dan dua anaknya yang kecil-kecil hanya bisa menangis dan meratap serta menyaksikan gubuknya rata dengan tanah akibat digusur oleh petugas hansip desa yang dikawal polisi.

Saat rumahnya rata digilas traktor, perempuan paroh baya itu membangun tenda dan melakukan mogok makan. Srikandi baik di tingkat nasional maupun internasional bertujuan untuk membela kaum yang tertindas dan terlupakan.

Bagi masyarakat Papua, Yosepha Alomang boleh menjadi simbol keberanian melawan penindasan dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat adat Suku Amungme di areal pertambangan. Dia berjuang mempertahankan tempat tinggal dan kehidupan mereka dari generasi ke generasi

Berkat perjuangan dan keberaniannya ia berhasil mematahkan dan mengalahkan dominasi kaum lelaki khususnya di Bumi Amungsa. Pasalnya dalam tatanan adat dan budaya Papua peran kaum laki-lak masih sangat dominan. Ketika Mama Yosepha Alomang terpilih meraih hadiah pejuang HAM dan Lingkungan. Banyak orang di Bumi Amungsa dan tanah Papua tersentak, seolah tak percaya kalau perempuan mungil itu bisa meraih penghargaan level nasional dan internasional.

Kesederhanaan dan keramahannya telah mengantar Mama Yosepha Alomang memperoleh penghargaan Yap Thiam Hien Award 1999 dan kemudian The Goldman Environmental Prize 2001.
Bagi Alomang, penulisan buku yang diberi judul Yosepha Alomang: Perjuangan Seorang Perempuan Papua Melawan Penindasan, agar semua orang tahu apa yang dia pernah perbuat. Walau pun bagi dia semua yang diperjuangkan merupakan kewajiban dan tanggung jawabnya karena memiliki rasa kemanusiaan(sense of humanity) bagi sesama yang tertindas dan terlupakan.(Jubi/dominggus a mampioper)
Source: TABLOID JUB
I

0 komentar Blogger 0 Facebook

 
GP3PB News | Women's Liberation Movement West Papua (GP3PB) © 2014. All Rights Reserved. Share on Koteka Creating Weblog. Powered by KBK Papua
Top