Pertama Kali Terbangkan Pesawat, Octaviyanti Menangis Campur Aduk

Pertama Kali Terbangkan Pesawat, Octaviyanti Menangis Campur Aduk
tribunjateng.com/dini suci
PILOT WANITA- Octaviyanti Blandina Ronsumbre pilot wanita di Trigana Air 
Laporan Tribun Jateng, Dini Suciatiningrum
TRIBUNJATENG.COM- Raut wajah wanita 25 tahun itu masih mengguratkan rasa lelah. Bulir-bulir keringat mengalir deras di dahi kopilot maskapai Trigana Air ini. Meskipun begitu, Octaviyanti Blandina Ronsumbre langsung menyambut Tribun Jateng dengan ramah. Vivin, demikian dia biasa dipanggil mempersilakan Tribun duduk di kursi Kapten Pilot Beni Sumaryanto, yang berada sebelah kiri tempat Vivin duduk.

"Sampai sekarang saya tidak percaya, orang sekecil saya ini bisa membawa pesawat yang gede," ucapnya mengawali pembicaraan saat ditemui di kokpit pesawat jenis Boeing 737 seri 400 yang terparkir di apron Bandara Ahmad Yani, Semarang, Senin (17/2).
Wanita bertinggi 158 centimeter itu awalnya tidak mempunyai keinginan menjadi pilot. "Saya dulu tidak mau jadi pilot, cita-cita saya menjadi pramugari, saat lulus SMA saya langsung mendaftar pramugari Garuda Indonesia," ucap wanita kelahiran Biak 30 Oktober 1988 ini.

Namun, keinginan Vivin harus kandas. Tinggi badan dia tidak memenuhi persyaratan menjadi pramugari yakni 160 centimeter. "Hanya kurang dua centimeter saja," ucapnya sambil tersenyum.
Vivin akhirnya mengalihkan perhatian ke profesi lain yang masih dekat dengan dunia pesawat yakni menjadi pilot. Keberaniannya mengambil sekolah di Nusa Flying International School Jakarta dipengaruhi orang-orang di sekitarnya. "Kakak saya pilot Garuda, selain itu motivasi saya bertambah besar saat melihat instruktur di Nusa Flying itu wanita, dia seorang pilot, saya lebih bersemangat," jelasnya.

Serangkaian tes mulai dari akademik, psikotes, kesehatan dan bakat terbang, berhasil dilewatinya. "Pertama kali saya menerbangkan pesawat saat ujian kelulusan penerbangan. Perasaan saya campur aduk, antara takut, senang, pokoknya susah diungkapkan dengan kata-kata, saya menangis saat itu," jelasnya.
Begitu landing, tangisan Vivin meledak. Dia tidak percaya telah menerbangkan pesawat latih selama 20 menit. Vivin mengaku tangisan tersebut merupakan luapan perasaan bahagia.
Profesi yang telah dijalani selama 2,5 tahun ini membuat orang-orang yang menyayanginya merasa bangga. Orang tua, kakak, serta teman-teman SMA mengacungkan jempol. "Teman-teman tidak percaya, saya yang cuek begini ternyata bisa jadi pilot," ucap Vivin bangga.

Vivin sadar, pilihan profesinya bukan main-main. Sekali terbang nasib ratusan nyawa penumpang ada di tangan pilot. "Tanggung jawabnya besar," kata dia. Meski tak mau takabur, ia bersyukur, selama menerbangakan pesawat Boeing seri 300, 400 dan 500 belum pernah menghadapi masalah.
Tantangan terbesar menjadi pilot adalah keraguan penumpang saat tahu yang mengendalikan pesawat ternyata perempuan. "Di masyarakat kita masih ada perbedaan gender di profesi-profesi tertentu. Makanya terkadang penumpang suka tak percaya kalau ada perempuan jadi pilot," tambah dia. Namun perbedaan gender di maskapai tempat Vivin bekerja nyaris tidak ada. Semua penerbang, baik perempuan maupun laki-laki, diperlakukan sama. Tidak ada saling meremehkan. "Kodrat kita memang wanita, tapi kalau profesi kita semua sama," ujar Vivin.

Menjadi pilot bukan hanya kebangaan Vivin, tetapi juga menjadi kebangaan tanah Papua. Vivin percaya jika dirinya bisa, perempuan lain di Papua juga pasti bisa. "Jangan berhenti bermimpi. Mulailah dengan mimpi dan berusaha. Jika saya bisa, yang lain pasti bisa," tandasnya sembari mengumbar senyum ramah. (tribuncetak/din)

0 komentar Blogger 0 Facebook

 
GP3PB News | Women's Liberation Movement West Papua (GP3PB) © 2014. All Rights Reserved. Share on Koteka Creating Weblog. Powered by KBK Papua
Top