Antara Politik dan Agama : Sebuah Refleksi Wanita Papua
Beragama adalah sebuah keniscayaan
yang akan mengantarkan seseorang menuju tujuan utamanya, yaitu
kebahagiaan abadi dalam lingkup Yang Maha Kuasa. Namun, tidak
serta-merta bahwa setiap agama yang muncul pasti benar dan bisa menjadi
pedoman hidup. Hanya ada satu titik kebenaran yang harus kita cari dan
telusuri sehingga kita tidak terjebak dalam dogma saja. Dalam sejarah
panjang dari Agama, agama seringkali dijadikan alat kekuasaan, senjata
yang penuh dengan darah atau kendaraan bagi para politikus. Akhirnya
agama kehilangan nilai sucinya, bercampur dengan kotornya politik atau
amisnya darah yang tumpah dalam perang.
Alkisah diceritakan bahwa ada tiga orang
buta yang ingin menggambarkan bentuk gajah. Orang pertama yang memegang
telinganya menyimpulkan bahwa bentuk gajah seperti kipas yang lebar.
Orang buta kedua memegang kakinya, kemudian ia berasumsi bahwa bentuk
gajah seperti batang pohon kelapa. sedangkan, orang ketiga memegang
belalai gajah, kemudian ia yakin seyakin-yakinnya bahwa gajah berbentuk
seperti pipa. Ironis bukan? ketiga orang buta tersebut gagal
mendeskripsikan bentuk gajah, bukan karena gajahnya yang tidak jelas
tetapi mereka tidak mampu mendeskripsikan ‘Gajah” secara menyeluruh,
mereka terjebak dalam apa yang mereka pegang dari gajah dan kemudian
menyimpulkannya, tanpa berniat untuk mencari tahu lebih banyak.
Bayangkan, bagaimana kalau gajah itu
adalah agama? dan orang buta adalah anda, kita, mungkin juga saya.
Apakah kita pernah untuk mengidentifikasikan agama yang kita anut secara
menyeluruh?
Dari ilustrasi diatas, kita bisa melihat
bagaimana pentingnya kedudukan tokoh agama, seperti pendeta, dalam
pemahaman umat beragama terhadap agamanya sendiri. Tanpa bimbingan
pendeta, kita akan sulit mendeskripsikan “gajah” sebagai “gajah”. Tetapi
akan lebih sulit bila pendeta yang seharusnya membimbing kita
mendeskripsikan “gajah sebagai “gajah” tidak mengetahui bahwa “gajah”
adalah “gajah” atau sengaja menggiring umatnya untuk mendskripsikan
“gajah” sebagai hal yang lain. Ketika pendeta tercemar pemahamannya
terhadap agama dengan hal-hal lain, maka mau kemana lagi umat harus
mencari pembimbing?
Hampir tidak ada orang Kristen yang
tidak tahu pernyataan Tuhan Yesus dalam perjanjian baru (Markus 12 :
17), “berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar
dan berikanlah kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah.”
Dan hampir tidak ada orang Kristen yang tidak tahu bahwa pernyataan itu
adalah untuk memisahkan urusan negara yang penuh dengan politik-politik
kotor dengan urusan agama. Ketika penganut agama berurusan dengan
negara, ia tidak boleh menyuarakan suaranya sebagai umat agama/gereja
melainkan sebagai warga Negara, berdemolah sebagai warga negara bukan
sebagai umat agama atau anggota gereja. Lalu apa yang akan terjadi bila
mimbar-mimbar agama dijadikan mimbar politis yang dengan lantang
menentang pemerintahan yang sah? Apakah Gereja sudah menjadi symbol
politis? Bukan lagi symbol keagamaan yang menawarkan kedamaian bagi para
pengikutnya?
0 komentar Blogger 0 Facebook
Posting Komentar