Jayapura, MAJALAH SELANGKAH -- Raut wajah wanita 25 tahun
itu masih mengguratkan rasa lelah. Bulir-bulir keringat mengalir deras
di dahi kopilot maskapai Trigana Air ini.
Meskipun begitu,
Octaviyanti Blandina Ronsumbre langsung menyambut wartawan dengan ramah.
Vivin, demikian dia biasa dipanggil, mempersilakan Tribun duduk di kursi Kapten Pilot, Beni Sumaryanto, yang berada sebelah kiri tempat Vivin duduk.
"Sampai
sekarang saya tidak percaya, orang sekecil saya ini bisa membawa
pesawat yang gede," ucapnya mengawali pembicaraan saat ditemui di kokpit
pesawat jenis Boeing 737 seri 400 yang terparkir di apron Bandara Ahmad
Yani, Semarang, Senin (17/2/14) silam, seperti dikutip Tribun.
Wanita
bertinggi 158 centimeter itu awalnya tidak memunyai keinginan menjadi
pilot. "Saya dulu tidak mau jadi pilot, cita-cita saya menjadi
pramugari, saat lulus SMA saya langsung mendaftar pramugari Garuda
Indonesia," ucap wanita kelahiran Biak 30 Oktober 1988 ini.
Namun,
keinginan Vivin harus kandas. Tinggi badan dia tidak memenuhi
persyaratan menjadi pramugari yakni 160 centimeter. "Hanya kurang dua
centimeter saja," ucapnya sambil tersenyum.
Vivin akhirnya
mengalihkan perhatian ke profesi lain yang masih dekat dengan dunia
pesawat, yakni menjadi pilot. Keberaniannya mengambil sekolah di Nusa
Flying International School Jakarta dipengaruhi orang-orang di
sekitarnya. "Kakak saya pilot Garuda, selain itu motivasi saya bertambah
besar saat melihat instruktur di Nusa Flying itu wanita, dia seorang
pilot, saya lebih bersemangat," tuturnya.
Serangkaian tes mulai
dari akademik, psikotes, kesehatan dan bakat terbang, berhasil
dilewatinya. "Pertama kali saya menerbangkan pesawat saat ujian
kelulusan penerbangan. Perasaan saya campur aduk, antara takut, senang,
pokoknya susah diungkapkan dengan kata-kata, saya menangis saat itu,"
jelasnya.
Begitu landing, tangisan Vivin meledak. Dia tidak
percaya telah menerbangkan pesawat latih selama 20 menit. Vivin mengaku
tangisan tersebut merupakan luapan perasaan bahagia.
Profesi yang
telah dijalani selama 2,5 tahun ini membuat orang-orang yang
menyayanginya merasa bangga. Orang tua, kakak, serta teman-teman SMA
mengacungkan jempol. "Teman-teman tidak percaya, saya yang cuek begini
ternyata bisa jadi pilot," ucap Vivin bangga.
Vivin sadar,
pilihan profesinya bukan main-main. Sekali terbang nasib ratusan nyawa
penumpang ada di tangan pilot. "Tanggung jawabnya besar," kata dia.
Meski tak mau takabur, ia bersyukur, selama menerbangakan pesawat Boeing seri 300, 400 dan 500 belum pernah menghadapi masalah.
Tantangan
terbesar menjadi pilot adalah keraguan penumpang saat tahu yang
mengendalikan pesawat ternyata perempuan. "Di masyarakat kita masih ada
perbedaan gender di profesi-profesi tertentu. Makanya terkadang
penumpang suka tak percaya kalau ada perempuan jadi pilot," ucap dia.
Namun
perbedaan gender di maskapai tempat Vivin bekerja nyaris tidak ada.
Semua penerbang, baik perempuan maupun laki-laki, diperlakukan sama.
Tidak ada saling meremehkan. "Kodrat kita memang wanita, tapi kalau
profesi kita semua sama," ujar Vivin.
Menjadi pilot bukan hanya
kebangaan Vivin, tetapi juga menjadi kebangaan tanah Papua. Vivin
percaya jika dirinya bisa, perempuan lain di Papua juga pasti bisa.
"Jangan berhenti bermimpi. Mulailah dengan mimpi dan berusaha. Jika saya
bisa, yang lain pasti bisa," tandasnya sembari mengumbar senyum ramah. (GE/Tribuncetak/MS)