Stop Sudah Kekerasan Terhadap Perempuan Papua !


JAYAPURA—Hasil Pendokumentasian Keke­rasan dan Pelanggaran Ham terhadap Perempuan Papua yang terjadi di era 1963 hingga kini telah menorehkan sejarah kelam yang membisukan para korban perempuan di berbagai Daerah dan Pelosok Papua.

Pendokumentasian fakta kelam kekerasan Perempuan yang merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM, dimana Perempuan Papua menjadi alat kekerasan dari relasi kekuasaan negara. Hal yang wajar pula, bila kaum perempuan Papua yang tergabung dalam Pokja Perempuan MRP mencoba melakukan pendokumentasian tentang apa yang mereka alami, rasakan dan sejauh mana kebijakan negara dengan fakta pendokumentasian ini sungguh berpihak pada perempuan Papua sebagai korban kekerasan, dimana perempuan itu berada. Ada suatu regulasi yang berpihak pda Korban kekerasan perempuan, sangat dinantikan.

Dalam kesempatan bedah buku hasil pendokumentasian fakta memoria Passionis perempuan Papua yang digelar, Kamis (7/10 ) di hadapan para pembedah yang berasal dari Fakultas Kriminologi Universitas Indonesia, hadir juga staf Pengajar dari Fakultas Hukum Uncen dan Komnas Perempuan yang turut dalam pendampingan pendokumentasian yang dilakukuan Tim Dokumenter Pokja Perempuan MRP.

Dalam pendokumentasian yang dilakukan Tim seperti diungkapkan kembali oleh Melani Kirihio dalam kesempatan awal bedah buku, terungkap bahwa begitu banyaknya tantangan dalam perjalanan ke sejumlah tempat dalam menemui kaum perempuan korban kekerasan dan tantangan yang kerap dihadapi disejumlah daerah rawan konflik.

Ketua Pokja Perempuan Papua, Mien Roembiak dalam presentasinya mengungkapkan tentang pengalaman kekerasan yang dialami perempuan Papua yang juga merupakan pelanggaran HAM di semua wilayah Papua dan Papua Barat sesuai fakta yang ditemui Tim Dokumenter menyebutkan, kekerasan itu tidak terlepas dari konflik Politik yang terjadi di Papua sejak integrasi di era 1963, yang banyak menyisahkan trauma pada Korban Perempuan yang sempat dicatat ada 261 kasus yang didokumentasikan dari 135 orang perempuan korban kekerasan seksual, Poligami dan adanya pembatasan ruang gerak, serta penganiayaan dan kekerasan berlapis lainnya, penelantaran karena masalah ekonomi dan Pemerkosaan yang menempati angka tertinggi dari kasus yang berhasil terdata dimana alat kekuasaan negara turut didalam melakukan kekerasan dan menyisahkan trauma mendalam pada korban Perempuan, belum lagi fakta riil pengalaman kekersan yang tidak terubgkap yang jauh lebih besar dari kasus yang sempat dicatata tim dokumenter MRP. papar Mien.
Satu rekomendasi dari beberapa rekomendasi yang dihasilkan menyebutkan, masalah kekerasan perempuan merupakan masalah kemanusiaan sehingga diperlukan regulasi kebijakan yang tertuang dalam satu bentuk aturan yang benar- benar melindungi perempuan dan Korban dari segala bentuk kekerasan dan pelanggaran HAM.

Secara terpisah, Wakil Ketua MRP Hana Hikoyabi mengungkapkan, momen peluncuran buku Kamis(7/10) ini, merupakan kesempatan dimana perempuan Papua melihat kenyataan kelam yang dialaminya, kembali mencoba untuk menguak sendiri masalahnya, mendokumentasikan sendiri semua kekerasan dan Pelanggaran HAM terhadap Perempuan dimana pendokumentasiann ini merupakan langkah awal pembelajaran dimana perempuan akan terus menerus melakukan sesuatu untuk dirinya secara mandiri hingga sampai pada kalimat, “ Stop Sudah Kekerasan dan Pelanggaran HAM Terhadap Perempuan Papua”, tegasnya.

Dengan adanya pendokumentasian fakta otentik tentang berbagai peta kekerasan terhadap perempuan yang dialami selama tiga periode sejak jamannya Integrasi Papua hingga Orde baru dan berujung saat orde reformasi kini, bukti yang dihasilkan dalam buku yang diluncurkan siang itu, diharapkan membawa suatu perubahan regulasi pada aras kebijakan Politik dalam produk peraturan atau undang undang yang benar benar berpihak pada perempuan korban dan lebih dari itu adanya upaya nyata soal kebijakan perlindungan perempuan kedepan dimana rantai kekerasan dapatdiputuskan, lebih dari itu adanya kesadaran bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran HAM.

Regulasi dari pendokumentasian dalam karya sebuah buku yang berjudul “ Stop Sudah” diharapkan pengaruhnya mampu menembus kebijakan dari alat alat negara yang selama ini melakukan kekerasan untuk merubah kebijakannya serta mendukung upaya perempuan Papua dalam memberikan perlindungan dari kekerasan berlapis yang dilakukan alat negara. Terlepas dari kekuasaan alat negara, regulasi yang diharapkan juga mampu membawa perubahan pemikiran di tingkat bawah dalam penangganan kasus KDRT.

Regulasi dari implemnetasi fakta yang tertuang dalam Advokasi “Stop Sudah” diharapkan berupa perda di tingkat Pemerintah Daerah dan Produk perundangan nasional yang bisa membawa perempuan pada kesejahteraan, damai, aman, maka perempuan Papua bangkit untuk menyuarakan sendiri pemenuhan hak hak perempuan, sehingga 17 Oktober dalam kesempatan peluncuran buku di canangkan sebagai peringatan hari “ Korban Kekerasan dan Pelanggaran HAM Perempuan Papua ungkap hana Hikoyabi. (ven)
Source: PAPUAPOST

0 komentar Blogger 0 Facebook

 
GP3PB News | Women's Liberation Movement West Papua (GP3PB) © 2014. All Rights Reserved. Share on Koteka Creating Weblog. Powered by KBK Papua
Top