DUNIA seakan berebutan, demikian pula di Indonesia merayakan hari
istimewa, hari Kasih Sayang. Seakan ada sinyal sentral dari dunia untuk
melihat 14/2 sebagai hari yang penting dari sisi kasih “si-Penolong
yang sepadan”. Berbagai negara tampil dalam tayangan TV dan media cetak
dengan berita plus acara yang beragam dan siratan tema sentral
“Perempuan Dalam Kasih Sayang”. Mungkin ini tema yang pantas bagi dunia
yang merayakan Valentine Day termasuk Papua, guna menyatakan jati diri
bangsa serta keberadaan perempuan dan nilai kehidupan dari Tuhan kepada
manusia. Baik laki-laki, dan terutama perempuan.
Nampaknya topik-topik itu menghadirkan perempuan (si-Penolong)
sejalan dengan “tujuan penciptaannya”. Perempuan menjadi istimewa dan
penting di sini. Dunia telah mengamininya demikian..entah bagaimana
dengan kita. Saling menyapa, memberi, mencari pasangan, bepergian ke
berbagai tempat sesuai rencana dan aktivitas lain. Menerima hadiah
istimewa dari pasangan atau orang-orang terkasih lainnya. Semua yang
memperlihatkan kedekatan dan kesepadanan itu. Di Hari Kasih Sayang ini,
semoga tidak lagi ada kekerasan dan penindasan yang mendera kehidupan
perempuan. Tidak ada lagi manipulasi potensi kaum perempuan.
Persoalan kita, apakah kita sudah menghargai potensi yang
dikaruniakan Tuhan atas diri manusia perempuan? Sementara kaum ini
masih terpuruk dalam bayang-bayang kekerasan, kekhawatiran dan stigma
buruk lainnya? Akankah kita hentikan manipulasi dunia yang cenderung
menjadikan “kaum penolong” sebagai “komoditas” dagang yang merendahkan
itu?
Ada masalah agar kita tahan uji; ada teman agar kita belajar berbagi;
ada cinta agar kita belajar mengasihi; ada sukses dan gagal agar kita
belajar bersyukur..!!
Perempuan Papua telah banyak kehilangan kesempatan untuk ikut
membangun negeri leluhur. Kaum ini miskin kesempatan untuk berekspresi
dan menunjukkan jati diri mereka sebagai si-Penolong yang sepadan.
Seolah kaum adam tak memiliki kepedulian terhadap kaum penolong mereka.
Akibatnya, perempuan tetap tersisih dari kedudukannya yang seharusnya
setara dengan laki-laki.
DR. Wigati Yektiningtyas-Modouw dalam disetasinya, Helaehili dan
Ehabla mengulas tentang fungsi dan peran perempuan Sentani dalam syair
lagu-lagu yang menunjukkan kesepadanannya dengan suami-suami, anak-anak
dan keluarga dalam adat. Helaehili dan ehabla mengandung nasihat,
harapan, keteladanan kepada generasi baru tentang hidup dan karya.
Perempuan Papua yang dijuluki “anggrek hitam” oleh Aprila R. A. Wayar
dalam novel Mawar Hitam Tanpa Akar melukiskan bagaimana perempuan Papua
bangkit dari realita keterjajahan dan melawan dengan caranya. Aprila
menyuguhkan sebuah kisah keluarga muda kelas menengah Jayapura dengan
segala dinamika kehidupan, mulai dari percintaan sampai kaitan-kaitan
dengan persoalan-persoalan politik yang dialami masyarakat Papua. Aprila
merupakan salah satu contoh dari perjuangan kaum si-Penolong bagi
Papua.
Ketua Sinode GKI I, F. J. S. Rumainum (alm), mengatakan : “Celakalah
suatu bangsa, di mana kaum laki-laki maju dalam pengetahuan, sedangkan
kaum perempuannya tidak ikut serta dalam perubahan zaman.” Dengan
ungkapan ini Rumainum mau mengingatkan, bahwa tidak memberdayakan
potensi perempuan agar setara dengan laki-laki dan ikut serta dalam
pemajuan aspek kehidupan, maka cepat atau lambat, dampaknya akan tampak
pada sendi kemanusiaan lainnya.
Sudah lumayan banyak perempuan Papua yang berprestasi dan sukses.
Walaupun sebagian besar belum karena dominasi atau kekuasaan yang sulit
dielakkan. Padahal, ada potensi dan kekuatan yang bila disadari bisa
menjadi membangkitkan perjuangan pembelaan diri.
Ditulis oleh Costantin Wanaha
* Ketua Persekutuan Wanita Kristen Indonesia (PWKI) Kabupaten Nabire
* Ketua Persekutuan Wanita Kristen Indonesia (PWKI) Kabupaten Nabire
0 komentar Blogger 0 Facebook
Posting Komentar