GP3PB News, Jika sebelum adanya pemberdayaan perempuan, konflik yang terjadi adalah antara laki-laki yang power Full dengan perempuan yang powerlees, sekarang berubah. Konflik yang terjadi adalah konflik antara perempuan yang berdaya (empower) dengan laki-laki yang tidak berdaya.

SAAT ini gerakan pemberdayaan perempuan sudah berjalan jauh hingga ke pelosok kampung di negara ini. Perempuan Kampung sudah banyak yang paham apa itu persamaan gender dan berharap banyak dapat mengisi ruang-ruang pembangunan agar dapat berpartisipasi aktif sehingga kebutuhannya juga dapat menjadi prioritas dalam pembangunan.  Namun yang dihadapi justru konflik yang lebih meruncing. Laki-laki tanpa pemahaman gender yang baik, bertumbukan dengan perempuan yang sudah bertransformasi. Akibatnya justru fatal !

Berawal dari sebuah kegelisahan beberapa laki-laki yang bekerja pada organisasi perempuan menghadapi situasi di lapangan, maka lahirlah sebuah pemahaman bahwa laki-laki juga perlu diberdayakan agar dapat bertransformasi bersama-sama dengan perempuan. “Sebab yang terjadi justru konflik yang makin serius, karena ketika perempuan berdaya, sedang laki-laki tetap dengan keyakinan lamanya maka dia melihat apa yang dilakukan perempuan adalah upaya-upaya mengancam otoritas dia sebagai laki-laki,” kata Nur Hasyim, penggiat gerakan laki-laki baru dari Yayasan FK Anissa, Yogyakarta..

Jika sebelum adanya pemberdayaan, konflik yang terjadi adalah antara laki-laki yang power Full dengan powerlees, sekarang berubah. Konflik yang terjadi adalah konflik yang terjadi antara perempuan yang berdaya (empower) dengan laki-laki yang tidak berdaya. Karena Laki-laki menganggap perempuan itu menjarah ranah laki-laki karena laki-laki tetap dengan keyakinan lamanya

Maka Jaringan kerja Aliansi Laki-laki Baru selain berpikir laki-laki juga perlu di transformasi, ternyata laki-laki juga memerlukan perubahan system nilainya dengan konsep-konsep laki-laki yang egaliter, menghargai perempuan dan mau berbagi kekuasaan. Salah satunya dengan membuka ruang diskusi dengan membicarakan dirinya sendiri, sebagai laki-laki. “Dalam budaya kita, nyaris tidak ruang buat laki-laki untuk berbicara tentang dirinya sendiri. Laki-laki kalau bertemu yang dibicarakan politik, sepakbola, otomotis, headline berita, jarang bicara soal kekawatiran, ketakutan untuk menjadi laki-laki karena akan dianggap tidak laki-laki. Nyaris tidak ada ruang bagi laki-laki untuk melepaskan diri dari beban hidup,” lanjut Nur Hasyim.

Banyak laki-laki merasa tidak mudah untuk memenuhi harapan-harapan terhadap konsep-konsep yang mereka miliki. Laki-laki tidak boleh mengeluh, cengeng, tidak boleh memilih bekerja di rumah, tidak boleh dekat dengan anak-anak, tidak boleh memilih menyelesaikan persoalan dengan cara-cara tanpa kekerasan, karena akan dianggap lemah. “Karena itu kita mengembangkan cara berpikir dan mengembangkan konsep baru  terhadap laki-laki untuk menjadi dirinya sendiri tanpa harus memilih menjadi orang lain sesuai dengan harapan-harapan yang ada di masyarakat,” lanjutnya.

Dalam kegiatan  diskusi yang dilakukan oleh Aliansi Laki-laki Baru diharapkan dapat merubah konsep-konsep dan nilai-nilai yang selama ini diyakini secara luas oleh masyarakat. “Kami jelaskan bahwa ini struktur yang secara luas dibuat untuk menciptakan penindasan atas kelamin yang lain maupun sesama laki-laki sendiri,” katanya.

Hasil kerja selama tiga tahun ini membuktikan asumsi-asumsi para pegiat ini. “Ternyata teman-teman laki-laki memang betul tidak memiliki ruang untuk berbicara soal gender. Maka di dalam pelatihan ini sebenarnya tidak melulu soal bagaimana teman-teman dapat melakukan konseling, tetapi penting bagi teman-teman sendiri untuk berkomunikasi dan menjadi diri sendiri, Kata Hasyim saat ditemui sedang melatih belasan laki-laki asal Kabupaten Keerom dibawah bendera Yayasan Teratai Hati Papua (YTHP) Keerom.

Kegiatan yang sudah berlangsung beberapa kali ini berbuah manis. “Ketika saya mendengar testimony seorang peserta bahwa ia kini disayang oleh keluarga besarnya karena tidak lagi memukul istrinya, bagi saya ini sebuah keberhasilan, karena jika ada satu orang yang berubah, maka akan menjadi inspirasi bagi laki-laki yang lain. Paling tidak ada ruang-ruang untuk jujur bagi dirinya sendiri,” lanjut Hasyim.

Saat ini dibutuhkan ruang-ruang yang lebih banyak untuk laki-laki, agar dapat berbicara tentang dirinya sendiri dan itu sangat diperlukan. Karena berdasarkan pengalamannya, problemnya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terjadi bukan karena laki-laki memiliki persoalan semata, melainkan laki-laki memiliki persoalan dengan kecakapan mengelola diri sendiri, misalnya dalam mengendalikan emosi, seperti marah. Laki-laki tidak memiliki kecakapan soal mengontrol amarah dan berlatih mengelolanya. Sebab itu selain perubahan sistem nilai, juga dibutuhkan kecakapan dalan mengelola emosi dan berkomunikasi.

“Laki-laki perlu diajari mengelola emosi, serta keterampilan berkomunikasi, untuk menyelesaikan permasalahan dengan cara-cara non kekerasan. Mereka juga harus diajari bagaimana menjadi suami, menjadi ayah,” katanya.

Tetapi tantangan terberat adalah nilai-nilai di masyarakat. Banyak laki-laki yang menganggap pekerjaan rumah tangga itu biasa, namun sedikit yang mengatakan melakukannya dengan bangga,karena pekerjaan rumah tangga termasuk mengasuh anak adalah pekerjaan perempuan. “Yang diperlukan adalah bagaimana laki-laki yang bisa menilai positif apa yang dilakukan! Untuk itu diperlukan latihan dan lewat pelatihan laki-laki baru, diharapkan laki-laki dapat bertransformasi sejajar dengan perempuan,” lanjut Nur Hasyim optimis.

Gagasan upaya mentransformasi laki-laki merupakan upaya yang tak terpisahkan dari upaya pemberdayaan perempuan untuk mengubah keadaan yang tidak adil menjadi lebih adil, kini sudah berjalan di beberapa daerah seperti,  Aceh, Kupang, Yogya, Jakarta, Lombok, kepulauan Riau hingga Papua. Jaringan terbuka ini terus mengembangkan sayapnya. Sejak diskusi pertama pada 9 september 2009 di Bandung, dilanjutkan dengan pertemuan di Jakarta, kini jaringan ini menyebar gagasan dengan menggunakan media social seperti blog dan website. Anda dapat mengunjungi situs….. Laki=laki baru memutuskan tidak membentuk sebuah organisasi, tetapi menjadi bagian dari gerakan perempuan.

“Ketika YTHP tertarik dengan program ini, kami sangat senang karena nantinya akan ada kantong-kantong laki-laki yang memiliki kesadaran gender. Dan ketika ada kantong-kantong di Keerom, Kupang, Lombok, Yogya, Aceh, Kepulauan Riau akan membuat gerakan ini menjadi besar,” lanjutnya. Pengamatan subjektif, LLB berkembang justeru dari perbincangan informal. Tanpa secara sengaja membuat projek untuk membuat projek ini.

Kini isu yang mereka usung mendapat respon. Banyak yang ingin menginisiasi gerakan ini, maka mereka terus mendistribusikan gerakan ini. Bagi mereka, “Label Laki-Laki Baru” itu tidak penting, tetapi essensi pada nilai yang dipegang yang penting terus dikembangkan di manapun juga.

0 komentar Blogger 0 Facebook

 
GP3PB News | Women's Liberation Movement West Papua (GP3PB) © 2014. All Rights Reserved. Share on Koteka Creating Weblog. Powered by KBK Papua
Top