Asal Usul Penindasan Perempuan dan
Kemungkinan-Kemungkinan Pembebasan Perempuan
Serta Perjuangan Pembebasan Perempuan Papua dan
Perjuangan Revolusi Demokratik (Pembebasan Nasional) Rakyat Papua
                                   
                                                                                                                   Oleh
Aliansi Mahasiswa Papua

Perempuan berderajat lebih rendah dari pada laki-laki - inilah anggapan umum yang berlaku sekarang ini tentang kedudukan kaum perempuan dalam masyarakat. Anggapan ini tercermin dalam prasangka-prasangka umum, seperti "seorang istri harus melayani suami", "perempuan itu turut ke surga atau ke neraka bersama suaminya", dll. Prasangka-prasangka ini mendapat penguatan dari struktur moral masyarakat yang terwujud dalam peraturan-peraturan agama dan adat. Lagipula prasangka-prasangka tersebut, sepanjang ingatan kita, bahkan nenek-moyang kita, keadaannya memang sudah begini. Tapi anggapan ini adalah anggapan yang keliru. Para ahli antropologi sudah menemukan bahwa keadaannya tidaklah selalu demikian.

Dalam masyarakat Indian Iroquis, misalnya, kedudukan perempuan dan laki-laki benar-benar setara. Bahkan, semua laki-laki dan perempuan dewasa otomatis menjadi anggota dari Dewan Suku, yang berhak memilih dan mencopot ketua/kepala suku. Jabatan ketua suku dalam masyarakat Indian Iroquis tidaklah diwariskan, melainkan merupakan penunjukan dari warga suku melalui sebuah pemilihan langsung yang melibatkan semua laki-laki dan perempuan secara setara dan bersama-sama. Keadaan ini berlangsung sampai jauh ke abad ke 19.

Dalam masyarakat Jermania, ketika mereka masih mengembara di luar perbatasan dengan Romawi, berlaku juga keadaan yang sama. Kaum perempuan mereka memiliki hak dan kewajiban yang setara dengan kaum laki-lakinya. Peran yang mereka ambil dalam pengambilan keputusanpun setara karena setiap perempuan dewasa adalah juga anggota dari Dewan Suku. Demikian pula yang berlaku di tengah suku-suku Schytia dari Asia Tengah. Di tengah mereka, bahkan perempuan dapat diangkat menjadi prajurit dan pemimpin perang.

Namun jika kita cermati lebih lanjut, masyarakat-masyarakat di mana kedudukan perempuan dan laki-laki benar-benar setara ini adalah masyarakat nomaden, yang mengandalkan perburuan dan pengumpulan bahan makanan sebagai sumber penghidupan utama mereka. Suku-suku Indian Iroquis sudah mulai bertanam jagung, namun masih dalam bentuk sangat sederhana. Demikian pula yang berlaku di tengah masyarakat Jermania dan Schytia. Pertanian, bagi mereka, hanyalah pengisi waktu ketika hewan-hewan buruan mereka sedang menetap di satu tempat. Data-data arkeologi bahkan menunjukkan bahwa pertanian primitif ini hanya dikerjakan oleh kaum perempuan sebagai pengisi waktu senggang, dan tidak dianggap sebagai satu hal yang terlalu penting untuk dapat dikerjakan oleh seluruh suku secara bersama-sama.
Namun, ketika berbagai masyarakat manusia menggeser prikehidupannya ke arah masyarakat pertanian, seluruh struktur masyarakatpun berubah. Termasuk di antaranya hubungan antara laki-laki dan perempuan.

II. Pertanian dan Bangkitnya Patriarki

Berlawanan dengan pandangan umum tentang bangkitnya masyarakat pertanian, umat manusia tidaklah dengan sukarela memeluk pertanian sebagai cara hidup. Biasanya, orang beranggapan bahwa manusia mulai bertani ketika mereka menemukan daerah-daerah subur yang cocok untuk bertani. Namun, data-data arkeologi dan antropologi menunjukkan bahwa manusia mulai bertani ketika mereka terdesak oleh perubahan kondisi alam, di mana kondisi yang baru tidak lagi memberi mereka kemungkinan untuk bertahan hidup hanya dari berburu dan mengumpul bahan makanan.

Peradaban pertanian yang pertama kali muncul adalah peradaban Sumeria dan Mesir. Keduanya lahir dari terdesaknya suku-suku manusia yang mengembara di dataran padang rumput yang kini dikenal sebagai Afrasia. Padang rumput kuno yang kini sudah musnah ini membentang dari daerah pegunungan Afrika Timur melalui Arabia sampai pegunungan Ural di Asia Tengah. Sekitar 8.000 - 11.000 tahun yang lalu, ketika Jaman Es terakhir telah berakhir, padang rumput ini mengalami ketandusan akibat perubahan iklim. Ketandusan ini berawal dari daerah Arabia dan meluas ke utara dan selatan. Bersamaan dengan mengeringnya padang rumput ini, hewan-hewan buruan akan berpindah mencari tempat yang masih subur.

Para pemburu dan pengumpul yang mengikuti hewan buruan ke utara akhirnya bertemu dengan lembah sungai Efrat dan Tigris, sementara yang ke selatan bertemu dengan lembah sungai Nil. Pada masa itu, sebuah lembah sungai merupakan medan yang tak tertembus oleh manusia, contoh modern dari lembah-lembah sungai yang masih perawan seperti yang ada disekitar kita saat ini di Papua. Karena terjepit antara dua keadaan yang berbahaya bagi kelangsungan hidup mereka, kelompok-kelompok pemburu dan pengumpul ini akhirnya memutuskan untuk bergerak memasuki lembah-lembah sungai ini dan berusaha menaklukkannya - setidaknya, di lembah-lembah sungai ini masih tersedia air.

Proses penaklukan ini pasti berjalan dengan amat beratnya karena peralatan yang mereka miliki, pada awalnya, hanyalah peralatan untuk berburu. Kini mereka harus menciptakan improvisasi bagi alat-alat mereka supaya dapat digunakan untuk membersihkan lahan. Karena peralatan mereka yang primitif itu, proses pembukaan lahan ini dapat berlangsung beratus tahun lamanya. Sementara jarang ada binatang buruan yang akan mengikuti mereka memasuki lembah-lembah sungai itu. Mereka dihadapkan pada keharusan untuk menemukan sumber makanan lain.

Dan di saat inilah, menurut data arkeologi, kaum perempuan sebagai juru selamat. Mereka menggunakan ketrampilan mereka untuk mengolah biji-bijian menjadi tanaman untuk mendapatkan bahan makanan bagi seluruh komunitas. Apa yang tadinya hanya pengisi waktu senggang kini menjadi sumber penghidupan utama seluruh masyarakat.

Keharusan manusia untuk menemukan cara-cara baru untuk mempertahankan hidupnya membuat perkembangan teknologi berlangsung dengan pesat di tengah masyarakat pertanian, jika dibandingkan dengan perkembangan teknologi dalam masa-masa sebelumnya. Dengan perkembangan teknologi ini, apa yang tadinya hanya dapat dikerjakan bersama-sama (komunal) kini dapat dikerjakan secara sendirian (individual). Proses untuk menghasilkan sumber penghidupan kini berangsur-angsur berubah dari proses komunal menjadi proses individual.

Dan, hal yang paling wajar ketika pekerjaan sudah dilakukan secara individual adalah bahwa hasilnya kemudian menjadi milik individu (perorangan/pribadi). Pertanian memperkenalkan kepemilikan pribadi pada umat manusia.

Di samping itu, pertanian sesungguhnya menghasilkan lebih banyak daripada berburu dan mengumpul. Tiap kali panen, manusia menghasilkan jauh lebih banyak daripada yang dapat dihabiskannya. Dengan kata lain, pertanian memperkenalkan hasil lebih pada pri-kehidupan manusia.

Namun, hasil lebih ini tidaklah muncul secara kontinyu, melainkan dalam paket-paket. Sekali panen, mereka mendapat hasil banyak, namun hasil itu harus dijaga agar cukup sampai panen berikutnya. Hal ini menumbuhkan keharusan untuk menjaga dan membagi hasil lebih ini. Melalui proses ratusan tahun, kedua keharusan ini menumbuhkan tentara dan birokrasi. Dengan kata lain, pertanian memperkenalkan Negara pada pri-kehidupan manusia.

Sekalipun berlangsung berangsur-angsur selama ratusan tahun, pada satu titik, perubahan-perubahan kecil ini menghasilkan lompatan besar pada pri-kehidupan manusia. Terlebih lagi setelah pertanian diperkenalkan, baik melalui penaklukan atau melalui proses inkulturasi, pada peradaban-peradaban lain di seluruh dunia. Dan salah satu perubahan penting ini terjadi pada pembagian peran antara laki-laki dan perempuan.

Pertama, pertanian pada awalnya membutuhkan banyak tenaga untuk membuka lahan karena tingkat teknologi yang rendah. Hanya dari proses ekstensifikasi (perluasan lahan)-lah pertambahan hasil dapat diperoleh. Oleh karena itu, proses reproduksi manusia menjadi salah satu proses yang penting untuk mendapatkan sebanyak mungkin tenaga pengolah lahan pertanian. Aktivitas seksual, yang tidak pernah dianggap penting, bahkan dianggap beban, di tengah masyarakat berburu dan mengumpul, kini menjadi satu aktivitas yang penting. Dewi Kesuburan merupakan salah satu dewi terpenting di tengah masyarakat pertanian, bukan hanya berkenaan dengan kesuburan tanah melainkan juga tingkat kesuburan reproduksi perempuan. Dan sebagai akibat logis dari keadaan ini kaum perempuan semakin tersingkir dari proses produktif di tengah masyarakat. Waktunya semakin lama semakin terserap ke dalam kegiatan-kegiatan reproduktif.

Kedua, teknologi pertanian yang maju semakin pesat ini ternyata malah membuat aktivitas produksi di sektor pertanian menjadi semakin tertutup buat perempuan. Penemuan arkeologi menunjukkan bahwa ditemukannya bajak telah menggusur kaum perempuan dari lapangan ekonomi. Bajak merupakan alat pertanian yang berat, yang tidak mungkin dikendalikan oleh perempuan. Terlebih lagi bajak biasanya ditarik dengan menggunakan tenaga hewan ternak, di mana pengendalian terhadap ternak memang merupakan wilayah ketrampilan kaum laki-laki. Intrusi (mendesak masuknya) peternakan ke dalam pertanian telah membuat ruang bagi kaum perempuan, yang keahliannya hanya dalam bidang pertanian, semakin tertutup.
Karena perempuan semakin tidak mampu terlibat dalam lapangan produksi, maka iapun semakin tergeser ke pekerjaan-pekerjaan domestik (rumah tangga). Dan ketika perempuan telah semakin terdesak ke lapangan domestik inilah patriarki mulai menampakkan batang hidungnya di muka bumi.

III. Kepemilikan Pribadi dan Patriarki

Tergesernya kaum perempuan dari lapangan produktif ini terjadi dalam konteks berkembangnya kepemilikan pribadi. Dengan semakin bergesernya proses produksi menjadi sebuah proses perorangan, maka unit pengaturan masyarakat pun berubah. Jika tadinya unit pengaturan masyarakat yang terkecil adalah suku  maka kini muncullah sebuah lembaga baru, yakni keluarga.

Hampir di tiap masyarakat yang terhitung primitif konsep tentang keluarga tidak dikenal. Penelitian arkeologis telah menemukan berbagai bentuk sistem reproduksi masyarakat komunal seperti ini. Seperti nyata di tengah masyarakat Zulu, di Afrika, di mana tiap waktu tertentu diadakan satu upacara di mana kaum perempuan memilih pasangannya untuk jangka waktu sampai upacara berikutnya diadakan. Suku-suku Afrika yang lain, semacam orang-orang Bush, menganut sistem di mana seorang perempuan adalah istri dari semua laki-laki yang ada di suku tersebut, sementara seorang laki-laki adalah suami dari semua perempuan di sukunya. Suku-suku aborigin Australia menganut sistem silang-suku, di mana mereka mengenal suku-saudara. Seorang perempuan aborigin adalah istri dari semua laki-laki dalam suku-saudara mereka, demikian sebaliknya yang terjadi dengan tiap laki-laki dalam suku tersebut.

Oleh karena pola reproduksi yang komunal semacam ini, garis keturunan seseoang hanya dapat dilihat dari siapa ibunya. Dari sinilah sebab mengapa dalam masyarakat primitif hanya dikenal garis matrilineal. Ini nampak nyata dalam asal-usul kata "gen" atau "genetik" itu sendiri, yang berasal dari kata kuno bangsa Arya gan atau kan yang artinya "kelahiran" atau "kehamilan". Jadi, "keturunan" merupakan satu bentuk yang sangat bernuansa perempuan pada awalnya.

Namun demikian, garis matrilineal ini tidaklah berarti apa-apa selain penentu apakah seseorang dapat digolongkan sebagai "orang kita" atau bukan. Dalam makna yang lebih luas, apakah ia setelah dewasa akan dapat memperoleh tempat dalam Dewan Suku dan ikut mengambil keputusan-keputusan penting. Jadi, pada masa itu tidaklah dikenal Matriarki. Perempuan dan laki-laki benar-benar setara kedudukannya di tengah masyarakat. Namun, pertanian mengubah semua itu.

Di atas kita telah melihat bahwa peranan perempuan perlahan-lahan tergusur dari lapangan produktif ke lapangan domestik. Pada awalnya ini adalah satu proses yang diterima baik oleh kaum perempuan karena pembagian kerja seperti ini dapat secepatnya meningkatkan hasil yang dapat diperoleh dari lapangan produksi itu sendiri. Dengan sukarela kaum perempuan menyerahkan tempatnya di lapangan produksi demi satu pembagian tugas yang akan meningkatkan hasil produksi setinggi-tingginya.
Yang tidak dapat dilihat oleh kaum perempuan masa itu adalah peranan kepemilikan pribadi dalam menempa sebuah sistem masyarakat.
     
Dalam hal ini, karena proses produksi telah menjadi sebuah proses perorangan, maka alat-alat produksi juga menjadi milik perorangan. Sistem kepemilikan suku atas alat-alat produksi semakin lama semakin pudar. Dan bersamaan dengan itu, kepemilikan atas hasil produksi juga berubah dari kepemilikan bersama menjadi kepemilikan perorangan.

Dan karena perempuan telah menyerahkan tempat mereka dalam lapangan produksi kepada laki-laki, maka kepemilikan atas alat-alat produksi itu kemudian juga jatuh kepada laki-laki. Dan karena kepemilikan atas alat produksi itu jatuh pada laki-laki, kepemilikan atas hasil produksinya juga jatuh ke tangan laki-laki.
Berikutnya, ketika kita bicara tentang bagaimana menjaga dan mengatur pembagian hasil produksi ini, siapakah yang berhak mengambil keputusan? Tentunya, karena merekalah yang bergiat di lapangan produksi, hak inipun jatuh pada laki-laki. Ketika hak untuk mengambil keputusan dalam masyarakat telah secara eksklusif dipegang oleh kaum laki-laki, bangkitlah patriarki.

Perlahan-lahan, setelah proses ini berlangsung ratusan tahun, orangpun melupakan asal-usul pergeseran ini dan hak waris dari garis laki-laki kemudian terlembagakan. Demikian pula seluruh sistem nilai dalam masyarakat yang semula menjunjung tinggi kesamaan antara laki-laki dan perempuan kini tergeser dan tergantikan oleh sistem nilai di mana laki-laki berkuasa atas perempuan.

Salah satunya nampak dalam sistem kepercayaan, yang merupakan salah satu sistem nilai yang paling tua umurnya dalam sejarah manusia. "Agama-agama" paling kuno, seperti dinamisme atau animisme, sama sekali tidak membagi dewa-dewa mereka sebagai laki-laki atau perempuan. Bagi mereka, masalah jenis kelamin ini sama sekali tidak penting. Agama-agama yang muncul kemudian telah mulai membagi kekuatan-kekuatan supranatural ini menjadi dewa (laki-laki) dan dewi (perempuan). Namun di antara keduanya sama sekali tidak nampak perbedaan kekuasaan yang mencolok. Agama orang-orang Yunani, misalnya, sekalipun menempatkan Zeus (laki-laki) sebagai pemimpin tertinggi, namun ia seringkali tidak dapat menghalangi apa yang diinginkan oleh istrinya, Hera. Untuk hampir tiap masalah, selalu ada pasangan dewa dan dewi yang menaunginya, seperti Athena-Aries (perang), Cupid-Venus (cinta), dll. Apollo jelas laki-laki, namun objek yang dinaunginya yakni matahari selalu harus menyerah pada bulan yang dilindungi oleh Artemis ketika malam tiba. Bahkan Apollo dan Artemis adalah kakak-beradik. Baru pada agama-agama monotheis-lah kekuatan supranatural tertinggi dilekatkan pada laki-laki, seperti yang nampak pada anggapan kebanyakan penganut monotheis mengenai apakah Tuhan adalah laki-laki atau perempuan.

IV. Kemungkinan-kemungkinan untuk Pembebasan Perempuan

Di atas kita dapat melihat bahwa penempatan perempuan pada posisi kelas dua dalam masyarakat berawal dari tergesernya peranan kaum perempuan dalam lapangan produksi. Dan, pada gilirannya, tergesernya peran ini adalah akibat dari tingkatan teknologi masa itu yang tidak memungkinkan kaum perempuan untuk memasuki lapangan produksi. Posisi kelas dua ini diperkukuh oleh sistem kepemilikan pribadi, yang pada gilirannya memunculkan diri dalam berbagai prasangka, sistem nilai dan ideologi yang menegaskan paham keunggulan laki-laki dari perempuan.

Karena ketertindasan perempuan berawal dari sebuah perjalanan sejarah yang objektif maka upaya pembebasan perempuan dari posisi yang ditempatinya sekarang ini harus pula menemukan kondisi objektif yang memungkinkan dilakukannya pembebasan tersebut. Kondisi itu adalah kembalinya kaum perempuan ke lapangan produksi kolektif.

Kondisi ini sesungguhnya telah diwujudkan oleh kapitalisme. Kapitalisme, yang mengandalkan mesin (birokrasi) sebagai alat produksinya yang utama, telah memungkinkan kaum perempuan untuk kembali berkarya di bidang produksi kebutuhan masyarakat. Bahkan, sekarang ini, jika kita melihat di kota-kota besar, sudah jarang sekali ada kaum perempuan yang tidak memberikan sumbangan bagi perolehan kebutuhan hidup keluarganya.

Lagipula, kapitalisme telah membuat sistem produksi menjadi semakin lama semakin kolektif dengan melibatkan kaum perempuan untuk terlibat dalam kegiatan produksi. Barang-barang produksi yang saat ini kita gunakan misalnya, adalah hasil karya ratusan, bahkan ribuan, orang dari berbagai negeri. Hampir tiap barang yang kita pergunakan untuk memenuhi kebutuhan kita sehari-hari merupakan hasil kerja ratusan bahkan ribuan orang. Ini semua adalah pertanda bahwa sistem produksi komunal semakin hari semakin berjaya kembali.

Dapatlah kita lihat bahwa perkembangan kondisi objektif ini telah menghasilkan ruang yang sangat terbuka bagi perempuan. Gerakan emansipasi perempuan telah berkembang bersamaan dengan masuknya perempuan-perempuan kedalam dunia produksi (kantor, pabrik dll). Kini perempuan telah berhak turut serta dalam berbagai bidang pekerjaan. Kebanyakan perempuan juga telah bebas untuk memilih jalan hidupnya sendiri, termasuk memilih pasangan hidup.

Namun demikian, kondisi objektif ini tidak dapat berkembang menjadi pembebasan perempuan yang sepenuh-penuhnya karena sistem nilai yang ada di tengah masyarakat masih merupakan sistem nilai yang mendukung adanya peminggiran terhadap peran perempuan.
Kita dapat melihat bahwa pekerja perempuan kebanyakan diupah jauh lebih rendah daripada pekerja laki-laki. Dan ini terjadi diberbagai bidang kerja seperti dikantor, pabrik, dan dunia kerja lainnya dimana perempuan terlibat didalamnya.

Masih dalam bidang pekerjaan, kita tahu bahwa bidang-bidang tertentu masih diposisikan sebagai "bidangnya perempuan". Seorang sekretaris, misalnya, haruslah cantik dan memiliki bentuk tubuh yang "menarik". Banyak orang masih meremehkan seorang perempuan yang bercita-cita dan berusaha keras untuk, misalnya, menjadi seorang pilot atau bahkan seorang astronot.

Ini berkaitan erat dengan masih dijadikannya perempuan sebagai simbol seksual dalam masyarakat. Penilaian utama terhadap seorang perempuan diletakkan pada apakah ia "cantik", "seksi" atau bentuk-bentuk penilaian fisik lainnya. Sesungguhnya, penilaian inipun sangat bergantung pada masyarakatnya karena apa yang "cantik dan seksi" untuk satu jaman belum tentu demikian untuk jaman lainnya. Dan pada titik ekstrimnya, kita melihat pelacuran sebagai bentuk eksploitasi puncak terhadap perempuan karena di sini bukan saja tenaganya yang dieksploitasi melainkan juga moral dan intelektualitasnya.

Di tengah masyarakat kita telah pula berkembang gerakan anti-emansipasi perempuan. Banyak bentuk yang diambil oleh gerakan ini, namun pada intinya gerakan ini berusaha mengembalikan posisi perempuan menjadi posisi terpinggirkan. Perempuan hendak dikembalikan pada posisi tidak turut dalam pengambilan keputusan, bahkan hendak dibatasi kembali ruang geraknya.

Sebaliknya, banyak pula dari kaum perempuan yang telah lolos dari jerat pembatasan-pembatasan, ternyata justru berbalik ikut membatasi gerak, bahkan turut menindas, kaum perempuan lainnya. Telah banyak pemimpin perempuan di muka bumi ini, tapi berapa banyak dari mereka yang berjuang untuk membebaskan kaum perempuan dari keterpinggiran dan keterbelakangan? Telah banyak pula perempuan yan menjadi kepala negara, kepala kantor, manajer, dan direktur, tapi berapa banyak dari mereka yang berjuang agar pekerja-pekerja perempuan  mendapatkan seluruh hak mereka sebagai perempuan?

Di atas telah kita lihat bahwa masih ada satu faktor lagi yang mengukuhkan ketertindasan perempuan: kepemilikan pribadi. Kepemilikan pribadi tumbuh dari sebuah proses produksi yang perorangan, di mana seluruh barang kebutuhan dihasilkan oleh perorangan. Di bawah kapitalisme halnya tidak lagi demikian, semua pekerjaan telah dilakukan secara komunal, secara kolektif. Namun, hasil kerja yang komunal ini masih dinikmati secara pribadi, secara perorangan.

Dan oleh karena sistem kepemilikan pribadi masih berjaya, maka seluruh sistem nilai yang mendukung kepemilikan pribadi itu akan ikut berjaya pula. Dan kita tahu bahwa sistem nilai yang mendukung kepemilikan pribadi adalah juga sistem nilai yang mendukung peminggiran terhadap kaum perempuan.

Oleh karena itu, perjuangan pembebasan terhadap perempuan tidaklah dapat dilepaskan dari perjuangan untuk mengubah kendali atas proses produksi (dan hasil-hasilnya) dari tangan perorangan (pribadi) ke tangan masyarakat (sosial). Sebaliknya, pengalihan kendali ini tidak akan berhasil jika kaum perempuan belumlah terbebaskan. Tidaklah mungkin membuat satu pengendalian produksi (dan pembagian hasilnya) secara sosial jika kaum perempuan, yang mencakup setidaknya setengah dari jumlah umat manusia, tidaklah terlibat dalam pengendalian itu.

V.  Perjuangan Pembebasan Perempuan Papua dan Perjuangan Revolusi Demokratik (Pembebasan Nasional) Rakyat Papua

Seperti yang telah diuraikan diatas, maka berbicara mengenai pembebasan perempuan Papua tidak bisa dipisahkan dari perjuangan pembebasan sejati rakyat Papua secara keseluruhan. Dimana pandangan-pandangan umum yang mengeserkan posisi dan peran aktif perempuan dari keterlibatannya dalam dunia kerja tidak hanya dialami oleh perempuan diberbagai belahan dunia lain, perempuan Papua sebagai bagian dari sektor masyarakat di Papua yang saat ini berada dalam penindasan global oleh imperialism dan kolonialisme NKRI juga berada pada posisi terpinggirkan dari hak-haknya.

Kenyataan ini sejatinya tidak dipahami oleh perempuan Papua, umumnya hanya dapat menerima kondisi ini sebagai suatu takdir yang diperuntukan secara turun-temurun, sehingga kebanyakan dari kaum perempuan Papua selalu pasrah dan menerima apa adanya status dan kedudukannya hanya sebagai pelengkap dan pendamping laki-laki.

Budaya pasrah dan selalu menerima kodratnya sebagai perempuan yang hanya sekedar sebagai pelengkap bagi laki-laki telah mendarah daging dalam diri perempuan Papua melalui ajaran-ajaran adat juga pandangan-pandangan religius yang menengelamkan batin perempuan Papua pada harapan-harapan subyektif akan kehidupan yang lebih baik dalam kesetaraan didunia akhirat. Sehingga perjuangan-perjuangan kongkrit bagi pembebasan perempuan Papua saat ini menjadi terabaikan.

Telah banyak organisasi perempuan yang saat ini berdiri di Papua, disatu sisi banyak perempuan Papua telah dapat berkarya dalam dunia kerja dan banyak pula perempuan Papua yang menduduki peran-peran penting dalam birokrasi (eksekutif dan legislative), serta posisi penting lainnya dalam dunia kerja seperti menjadi ketua partai, tapi apa dengan demikian telah dapat membebaskan perempuan Papua secara keseluruhan? Banyak diantara kita perempuan Papua yang tidak dapat menikmati pendidikan hingga jenjang tinggi atau bahkan tertinggi sekalipun, hal ini hanya dikarenakan pandangan-pandangan lama yang tercipta dalam masyarakat kita, yang selalu memandang perempuan bukan sebagai penyokong/penopang keluarga, sehingga mengakibatkan kita semakin terpinggirkan.

Pada masa kini, kita selalu mendengar “emansipasi dan pemberdayaan perempuan dalam pembangunan” yang diturunkan kepada kita perempuan Papua, mengikuti jejak organisasi-organisasi dan gerakan-gerakan perempuan diindonesia yang diawali oleh perjuangan R.A. Kartini (1879-1904) melalui gerakan emansipasinya yang terkenal dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, Kartini dan organisasinya serta organisasi-organisasi perempuan lain seperti GERWANI, telah mampu sedikit mengangkat hak-hak  politik perempuan indonesia yaitu saat masa kemerdekaan belum tercapai hingga setelah kemerdekaan direbut oleh Indonesia. Sehingga saat ini banyak perempuan Indonesia dapat turut serta dalam kerja-kerja produksi, mereka juga dapat mengenyam pendidikan setinggi-tingginya, bahkan salah satu dari perempuan Indonesia Megawati Soekarnoputri mampu memimpin negaranya menjadi seorang presiden. Tetapi gambaran ini tidak serta merta membebaskan posisi perempuan diindonesia yang jumlahnya lebih banyak dibanding jumlah laki-laki, mereka masih banyak yang dipekerjakan sebagai buruh-buruh pabrik dengan upah yang murah, banyak pula yang menjadi pekerja dikantor-kantor dengan gaji yang lebih rendah dibanding laki-laki, selain itu banyak pula yang terjun didunia pelacuran sebagai jalan pintas untuk tetap hidup hanya karena terjepit dengan keadaan ekonomi dan tidak terpenuhinya lapangan pekerjaan bagi mereka, dimana situasi ini memang dikehendaki oleh kapitalis (kapitalis birokrat) untuk mengekploitasi perempuan sebagai komoditi seksualitas kaum laki-laki.

Sehingga sesunguhnya emansipasi dan pemberdayaan perempuan tidak sama sekali meletakan dikembalikannya hak-hak perempuan dalam dunia produksi secara kolektif (bersama-sama) dan secara komunal (kelompok) yang menjamin kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan.

DiPapua, gerakan emansipasi perempuan telah berkembang oleh berdirinya organisasi dan kelompok-kelompok perempuan yang umumnya diikuti oleh kaum perempuan yang berada pada kelas menengah keatas, misalnya organisasi-organisasi yang dibentuk  oleh instansi-instansi pemerintah. Umumya mereka adalah kelompok perempuan yang suaminya merupakan pegawai dalam instansi tersebut, dengan demikian secara otomatis status keanggotaanya mengikuti posisi dan jabatan suaminya. Salah satunya PKK tingkat Kabupaten, kedudukan pimpinan organisasi secara otomatis adalah istri bupati, tanpa harus dipilih dan diangkat secara demokratis oleh anggota, juga tanpa pernah dipertimbangkan apakah dia mampu dan berpengalaman dalam menjalankan program-rogram organisasi atau tidak? Organisasi yang demikian, dan berbagai organisasi lain yang dibentuk oleh lembaga-lembaga pemerintah, agama dan lembaga-lembaga lainnya pada dasarnya berjalan mengikuti hirarki kepemimpinan lembaganya yang didominasi oleh kaum laki-laki, sehingga pada prakteknya perempuan tetap diikat pada perannya sebagai pelengkap, tanpa dapat mewujudkan program-program pokok bagi pembebasan perempuan untuk keluar dari keterikatannya pada kerja-kerja domestik sebagai ibu rumah tangga ( buruh tak berupah).

Menyadari akan pentingnya perjuangan pembebasan perempuan Papua dari ketertindasan dan diskriminasi yang diwujudkan dalam praktek birokrasi kapitalistik saat ini di Papua, adalah penting bagi lahirnya kesadaran kelas perempuan Papua untuk mewujudkan kesederajatan dari peminggiran terhadap hak-hak perempuan Papua sebagai bagian dari sektor kelas tertindas rakyat Papua lainnya. Hal ini terlebih dahulu harus melalui investigasi dan analisis kita yang mendalam, tepat dan jelas tentang tahapan perkembangan masyarakat Papua, sehingga kondisi-kondisi yang memungkinkan tentang kesetaraan hak-hak perempuan yang masih tertanam dalam masyarakat kita dapat menjadi pijakan kita bagi perjuangan-perjuangan pembebasan perempuan Papua kedepan.

Di sinilah kita dapat menarik satu kesimpulan: “perjuangan pembebasan perempuan Papua akan berhasil dengan sempurna jika ia disatukan dengan perjuangan untuk mencapai terciptanya revolusi demokratik rakyat Papua (Pembebasan Nasional Papua). Dan sebaliknya, perjuangan untuk mencapai  terciptanya revolusi demokratik rakyat Papua akan juga berhasil dengan sempurna jika perjuangan ini menempatkan pembebasan perempuan sebagai salah satu tujuan utamanya”. Kedua perjuangan ini tidak boleh dipisahkan, atau yang satu didahulukan daripada yang lain. Keduanya harus berjalan bersamaan dan saling mengisi dengan menghilangkan pandangan-pandangan lama, bahwa kepemimpinan politik perjuangan revolusi demokratik rakyat Papua dapat pula dipimpin oleh kelas perempuan Papua bersama-sama sektor masyarakat lain ; Masyarakat Adat, Tani, Buruh, Kaum Miskin Kota, dan Pemuda/Mahasiswa yang ada di Papua saat ini.

Hanya dengan demikianlah kaum perempuan akan dapat dikembalikan pada posisi terhormat dalam masyarakat - sejajar dengan laki-laki dalam segala bidang kehidupan: ekonomi, sosial, politik dan budaya, sebagai tahapan menuju terciptanya tahapan revolusi rakyat berikutnya Papua dan terbentuknya masyarakat Papua yang Demokratis Secara Politik, Adil Secara Sosial, Sejahtera Secara Ekonomi dan Partisipatif Secara Budaya.

Selamat Berjuang!


***

0 komentar Blogger 0 Facebook

 
GP3PB News | Women's Liberation Movement West Papua (GP3PB) © 2014. All Rights Reserved. Share on Koteka Creating Weblog. Powered by KBK Papua
Top